Terapi Kehamilan dan Fertilitas di Singapura

Karena banyak yang nanya soal dokter kandungan dan assisted fertility di Singapur, akhirnya saya memutuskan u/ share pengalaman saya inseminasi supaya semua komen tentang fertility difokuskan di sini aja, jangan dijadikan satu dengan komen2 tentang Mt. E 🙂

Saya skrg hamil 6 bulan setelah 4 tahun lebih menikah. Saya dan suami mulai cek ke dokter setelah 3 tahun mencoba hamil normal. Berikut tes-tes yang dokter kandungan (dokter pertama kami: Prof. Yong Eu Leong, NUH, ahli bayi tabung) berikan pada kami:

1. Tes darah dan hormon suami / istri. Dari tes ini, ketauan kalau progesteron saya rendah, jadi badan saya tidak merespon ovulasi dengan baik.

2. Tes andrologi / kondisi sperma suami.

3. USG u/ istri – untuk melihat apakah ada massa atau kista di dalam rahim yang bisa menyebabkan embrio sulit bertumbuh.

4. Pap smear dan swab test – sebenernya cek rutin aja, tapi sekalian dilihat apakah ada infeksi di vagina yang bisa mematikan sperma, dan apakah ada tanda2 abnormalitas di cervix.

5. HSG – tes ini u/ melihat kondisi falopian tube atau saluran indung telur. Cairan berwarna dimasukkan ke dalam rahim, lalu kita disuruh gerak2 supaya cairannya menyebar, lalu dilihat apakah cairan itu nembus sampai ke indung telur kiri-kanan. Bila saluran indung telur tersumbat, akan diusulkan untuk laparaskopi untuk membuka sumbatannya, atau langsung menjalankan proses IVF. HSG saya normal.

Semua tes di atas seingat saya biayanya nggak lebih dari S$1000 di NUH.

Tahap pertama: Pil hormon

Dari semua tes itu, kondisi kami berdua dianggap sehat dan karenanya saya hanya perlu menormalkan level progesteron. Saya disuruh minum Serophene / Clomid selama 5 hari setiap bulannya, lalu disuruh nyatet BBT (suhu badan basal, yaitu suhu badan ketika pertama kali melek pagi hari, sebelum bangun dari tempat tidur. Harus menggunakan termometer BBT khusus) tiap hari, dan ngecek ovulasi via urine test di rumah mulai hari ke-11.

Pil hormon berhasil membuat saya ovulasi normal, tapi jadwal business trip suami saya membuat kami sulit ngepasin jadwal, karenanya setelah 8 bulan mencoba pil hormon dan nggak hamil, kami mulai berpikir u/ inseminasi saja. Kami di-refer ke dr. Stephen Chew, spesialis IUI di NUH.

Tahap Kedua: Intra-Uterine Insemination (IUI)

IUI adalah prosedur inseminasi paling sederhana yang hanya bisa dilakukan bila saluran indung telur tidak tersumbat, produksi sel telur dan sperma normal, dsb. Biasanya IUI dilakukan bagi mereka yang mengalami “unexplained infertility” – tidak ada masalah medis tapi nggak hamil-hamil, seperti saya. Prosesnya demikian:

– Saya melanjutkan minum Serophene (bisa juga diresepkan Femara) 5 hari per bulan

– Di hari ke-11 kalender mens saya, saya datang ke dokter u/ USG, dilihat apakah ukuran follicle dalam rahim saya sudah “mencapai target”. Kalau belum, saya disuruh datang besoknya (karena IUI bergantung pada jadwal ovulasi normal) sampai ukuran follicle mencapai target di USG. Setelah mencapai target, saya akan disuntik egg-releasing hormone 1x, lalu harus kembali u/ prosedur IUI dalam waktu antara (CMIIW) 18-24 jam setelah disuntik.

Jadi, misalnya, katakanlah saya disuntik jam 4 sore hari Kamis, saya sudah harus di-IUI  antara jam 10 pagi sampai 4 sore hari Jumat karena suntikan itu akan membuat saya ovulasi dalam 18-24 jam, timing nggak boleh meleset 🙂

Kembali ke contoh diatas, anggaplah kemudian saya dijadwal u/ IUI jam 12 siang di hari Jumat (20 jam sesudah disuntik). Suami saya akan dijadwalkan datang 2 jam sebelumnya (jam 10 pagi) u/ nyumbang sperma, lalu spermanya langsung di-wash, dan ketika saya datang jam 12 siang, sperma itu langsung dimasukkan ke rahim saya via kateter. Prosedur ini makan waktu hanya 5 menit, tidak sakit dan tidak pakai anestesi. Setelah itu saya pulang terserah mau ngapain – nggak perlu bed rest, nggak perlu diet, nggak perlu tiduran karena takut spermanya keluar lagi 🙂

Kalau, misalnya, suami nggak bisa nyumbang sperma yang fresh karena di luar kota atau sperm count-nya rendah, suami bisa “nyumbang” beberapa hari sebelumnya lalu di-freeze. Kalau sperm count rendah, mereka bisa “nyumbang” beberapa kali (jangan nyumbang lebih dari 1x per 3-4 hari u/ memastikan sperm count tiap kali nyumbang maksimal) lalu beberapa sampel sperma itu dijadikan satu pas proses inseminasinya.

KANS SUKSES IUI

Ketika pasangan tidak memiliki masalah medis apapun (seperti saya dan suami), chance IUI cukup tinggi – sekitar 30%. Selama pil hormon (Clomid/Serophene/Femara) yang diresepkan dosisnya pas (tidak terlalu tinggi), kemungkinan u/ dapat bayi multiples juga hanya 1% lebih besar dari kehamilan normal. Saya punya saudara yang dapat anak kembar 3 dari IUI, tapi itu kemungkinan besar karena dia minum pil progesteron dengan dosis terlalu tinggi (sebenernya ini bisa dihindari kalau rahim di-USG setelah obat diresepkan, u/ melihat reaksinya), atau dia disuntik egg-releasing hormone lebih dari 1x padahal sebetulnya nggak perlu.

IUI pertama saya gagal karena kombinasi sperm count yang termasuk normal tapi rendah (cuma 4 juta kalo ga salah, karena kita nggak “puasa” dulu sebelum suami nyumbang he he he …) plus timing inseminasi-nya agak meleset karena saya ovulasi di hari Minggu, ketika kliniknya tutup 😦

IUI kedua sukses karena kali ini kami puasa 2 minggu, jadi sekali nyumbang suami saya bisa setor 30 juta sperma 🙂 dan timing inseminasi-nya juga pas.

Kalau IUI sudah dilakukan selama 3-4 cycle dan belum hamil juga, pasangan akan dianjurkan u/ consider opsi lain seperti IVF.

COST / BENEFIT IUI

Banyak orang lebih aware tentang IVF daripada IUI, padahal kami melihat IUI jauh lebih menguntungkan daripada IVF:

– Cost lebih rendah. Satu cycle IUI kami harganya sekitar S$550 di NUH, sementara IVF bisa sekitar S$7000-10,000 per cycle di RS pemerintah, bisa sampai 2-3 kalinya di RS swasta.

– Prosedur jauh lebih sederhana. Nggak pake inseminasi di cawan petri lalu dimasukkan lewat laparaskopi ke rahim. Nggak bed rest, nggak diet, nggak bius. Nggak pake nyuntik hormon tiap hari di rumah. Nggak pake mood swings. Dan proses ini menggunakan cycle mens / ovulasi normal kita. Paling ya puasa seks seminggu gitu supaya sperm count suami tinggi pas nyumbang he he he 😀

– Proses ini lebih natural. Keraguan kami yang terbesar terhadap IVF adalah karena kami akan “membuang” sel telur (mis: yang di-extract 8 sel telur, tapi yang dibuahi cuma 5, lalu yang dimasukkan ke rahim cuma 3). Secara agama dan psikologis, kami nggak mau dihadapkan pada pilihan ini. Lalu kalau misalnya bayinya ternyata jadi semua (mis: jadi kembar 4), kami sekali lagi akan dihadapkan pada pilihan u/ selective abortion u/ mengurangi resiko kehamilan terhadap Ibu dan meningkatkan harapan hidup bayi yang lain. Kalau sampai hal ini kejadian, kami nggak siap u/ “memilih” bayi mana yang “dimatikan”, tapi kami juga nggak mau dihadapkan pada resiko medis dari membesarkan 3-4 janin dengan kondisi badan saya yang kecil ini (saya sebelum hamil 155cm/46kg).

Semoga membantu, info lebih lengkap mengenai terapi hormon dan IUI bisa didapat di sini.